Jumat, 06 Maret 2015

Gajah dan Kuman

Jikalau rupa yang membuatmu jatuh hati, terimakasih karena memang seharusnya bukan saya yang terpilih.
Ataupun harta yang membuatmu cinta,  tentu saja saya bukanlah orang yang tepat.


Saya cuma punya waktu, segala waktu yang bisa saya berkan buatmu, namun bukan berarti setiap waktu.
Dan, kamu tahu? waktu lah yang tidak bisa diulang. Tidak bisa dimuat kembali.


 Bukankah itu berarti saya mengorbankan bagian dari kehidupan saya yang paling penting?.


Tapi,
 semua itu tidaklah berarti buatmu. Kamu selalu memuja dia, dia yang lebih lebih lebih.


Padahal,
 dia bahkan tidak sedikitmu memberi mu waktu. 
Tak juga memberikanmu ruang.

Sebuah sudut kecil di dalam hati saya masih kosong, sengaja kosong supaya tidak ada yang bisa masuk.
Sisanya, kamu sudah isi sedikit. Tidaklah lebih banyak dari yang Tuhan isi dan orang yang merawat saya sejak kecil.
Namun,
 yang sedikit itu membekas, meninggalkan sebuah tanda.
 

Jikalau saya seorang yang kamu dambakan, kita akan jadi pasangan paling bahagia di dunia.
Ah, itu cuma kalimat hiperbola.

Setidaknya, saya dan kamu yang bahagia.
Atau,
 menjadi "kita".


Namun nyatanya, secara realitas bahkan saya tidak tersentuh, kamu ingin menjangkau orang lain.


Ini bukan salah saya yang terlalu merasa.
Ataupun kamu yang terlampau cinta padanya.


Hanya saja,
 terkadang saya merasa menjadi gajah, yang di pelupuk mata tak nampak.
 
Sedangkan dia,
 Kuman di seberang lautan yang selalu nampak.


Atau saya cicak?
 yang selalu terlihat diam namun memperhatikan, melindungimu dari nyamuk, dan terlihat menjijikan karena kulit yang terlampau pucat.


Dan dia,
 kijang kencana yang didamba oleh Shinta, istri Rama.
Kijang berkilau emas dengan secercah keabadian.

Saya paham, keabadian bagi wanita adalah sebuah surga.
Dan kamu telah menemukannya, dalam sebuah kabut yang menjadikan seolah kita ini di dunia yang berbeda.

Kabut itu, menjadi sebuah ruang.
Dimana hanya ada...

Kamu

dan

Dia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar